Selasa, 19 Juli 2011

Ini Hanya Cerpen Kok

Malam yang sama, seperti malam-malam lainnya aku terjaga. Aku tak peduli dengan delusi itu, aku tak peduli dengan kabut sepi dan kesedihan yang menyelebungiku, aku tak peduli, Aku memaksa diriku untuk tak peduli karena hingga detik ini aku tak tahu apa yang mereka inginkan dariku sebenarnya.

Aku tahu perbedaan, aku bodoh kalau aku tak tahu apa itu perbedaan. Perubahan, kau berubah, aku tahu itu. Tidak usah mengatakan kalau aku belum mengenalmu. Aku sudah mengenalmu, aku sudah memperhatikanmu sejak aku berseragam putih abu, hanya saja kaulah yang tak menyadari kehadiranku, bahkan kau belum pernah melihatku semasa sekolah.. kan?

Ah, kenapa aku mengingat ini? Hanya mengingatkanku juga pada senyummu yang sebelumnya bukan untukku kemudian untukku kemudian menghilang kemudian menghinggapi benakku dalam waktu yang panjang. Kau tak tahu kan? Yah.. sepertinya kau tidak tahu kenyataan bahwa kau selalu ada dalam pikiranku setiap hari. Perlu kupertegas lagi? Setiap hari. Lupakan saja, aku tahu kau tak peduli. Kau sepertinya memang tidak mengenalku bahkan tidak akan mengenalku jika kau tak menyapaku di waktu pergantian tahun, ketika langit penuh dengan nyala kembang api.

Ketukan di pintu kamarku kemudian menghentikan aliran bayanganku. Aku bersyukur karenanya. Aku tentu harus melupakanmu kan? Sedetik setelah aku mengingatmu aku harus melakukannya. Itu maumu bukan? Hanya saja itu sangat sulit, lebih sulit daripada yang kau kira, tak semudah kau melupakan aku.

***

Ufuk barat menjingga perlahan, sementara aku masih terdiam di depan meja perpustakaan, menghadapi berbagai buku yang terbuka. Bunyi dehem yang sudah kukenal menghampiri telingaku, petugas perpustakaan itu ternyata sudah sampai ke lantai 3 tempatku berada, berpura-pura batuk untuk mengingatkan bahwa semua pengunjung harus segera keluar, sebentar lagi jam tutup perpustakaan. Aku sudah paham metode pengusiran halusnya itu, saking seringnya aku menghabiskan waktu disini sampai mentari hampir tenggelam. Duduk di meja yang menghadap ke luar jendela, menawarkan pemandangan langit yang selalu kusukai selagi aku asyik membaca.

“Yah, aku rasa petugas perpus itu tidak salah, sudah saatnya kita pulang La” Ujar seseorang yang menghampiriku dari meja sebelah, sahabat yang sudah kuanggap abangku sendiri. Alif.

Aku menutup buku-buku di mejaku kemudian mengikuti langkah Alif menuju lift perpustakaan. Ingin tahu alasan mengapa tiba-tiba ia muncul di dekatku padahal seharusnya ia sudah pulang.

“Kamu mengikutiku sampai perpus?” Tanyaku datar setelah kami mengambil tas kami di penitipan kemudian berjalan keluar menuju gerbang kampus.

“Aku hanya ingin mengembalikan ini sebenarnya” Alif menyerahkan buku kecil bersampul biru dengan label bertuliskan namaku Ciella. Oh, itu buku ideku, buku kecil untuk mencatat ide yang datang tiba-tiba.

“Tertinggal di kelas, aku mau memberikannya padamu, aku pikir kamu pasti akan ke perpus dan ternyata benar. Tadinya begitu melihatmu di meja lantai 3 itu aku mau segera memberikannya tetapi aku tak bisa mengganggumu yang serius membaca sambil sesekali melihat keluar jendela, ke langit.”

Aku tersenyum kecil sambil mengambil buku itu dari uluran tangan Alif. Kemudian Alif berjalan dengan langkah-langkah panjang mendahuluiku

“Begitu indah sekaligus menyakitkankah langit senja itu untukmu? Tatapanmu untuk langit itu terlihat sedih? Yah.. Kalau aku tidak salah lihat” Ujar Alif tanpa menoleh padaku.

Aku diam saja, merasa tak ada yang perlu kukatakan, Alif bisa membaca mataku.

“Langit itu mengingatkanmu pada sesuatu yang tak bisa kau lupakan? Sesuatu yang kini seolah hilang?” Alif berkata dengan nada yang tak kupahami apa artinya. Aku hanya menunduk sambil berjalan pelan.

“Sesuatu yang datang ketika kamu ditelan kesakitan, menjadi lebih dari sekedar penyembuh?”

Alif kini mensejajarkan langkahnya denganku.

“Aku percaya kamu menyayanginya La, kamu tulus menyayanginya dan mungkin benar seperti yang dia katakan padamu sebelum dia menjauh.. dia juga menyayangimu tapi mungkin begitulah caranya menyayangimu

“Kamu menyayanginya kan? Kalau begitu biarkanlah ia pergi. Kamu menyayanginya berarti kamu juga akan bahagia melihatnya bahagia. Kalimat klise tapi aku suka itu”

***

Tak ada gunanya, batinku sambil menutup notebook-ku. Untuk apa aku masih ingin mengetahui apa yang dia katakan di dunia maya? Apa yang sedang ia lakukan, apakah ia mengingatku dan hal-hal lainnya tentang dia. Untuk apa aku berusaha menyusun kepingan puzzle itu lagi, kalau puzzle itu sebenarnya sudah hilang. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, aku lelah dan cukup tolol untuk terus menerus membiarkan luka-luka baru muncul, diejek kepalsuan.

Tidakkah kau mengerti? Apa alasannya jika bayanganmu, kata-katamu dan apapun yang berkaitan denganmu berputar-putar di dalam pikiranku hampir setiap hari? Apa alasannya jika cukup dengan melihat namamu muncul di linimasa jaringan sosial itu jantungku seolah melompat keluar dari tempatnya? Apa alasannya jika mengetahui kalau kau tidak dalam keadaan baik membuatku cemas? Apa alasannya jika kau muncul dalam mimpiku secara rutin? Apa alasannya jika waktu-waktu tengah malamku kuhabiskan dengan memikirkanmu? Apa alasannya jika aku menangis karenamu? Apa alasannya jika awan maupun cahaya rembulan yang kupandangi itu itu membentuk namamu? Apa alasannya? Apa???

Sebentar lagi kamu punya kehidupan baru, kamu akan semakin tidak menoleh.

Kesimpulan yang bisa kuambil kini adalah kamu sudah tak peduli jadi aku tak punya pilihan selain melepaskan. Benar kata Alif.

Perlukah alasan? Alasannya karena aku menyayangimu. Alasan ini juga yang menjawab semua pertanyaan tadi. Alasan ini.

***

Aku terbangun lagi dari tidurku, terbangun tiba-tiba lagi karena mimpi. Tebak siapa objek mimpi itu, ya, kamu. Kamu yang tersenyum dan berkata “Hai ...... ....” kemudian menghiburku, kemudian membuatku jatuh cinta kemudian tiba-tiba berkata “Maaf”, “Tinggalkan aku” kemudian menghilang lalu menatapku dengan mata dan hati yang beku.

Kubenamkan kepalaku ke bantal, airmataku mengalir tanpa kutahu kenapa. Ya, aku harus menyalahkan lagi perasaanku ini, perasaan untukmu.

Kau tidak peduli dan mungkin kau juga hanya akan tersenyum dingin di depan kuburanku.


RAS

Tangerang, 16 Juli 2011

01:03

Tidak ada komentar:

Posting Komentar