Minggu, 15 Maret 2015

A Letter to Myself



Dear, Restu Annisa.

Saya tahu kamu telah melewati banyak hal, melewati banyak masalah, rintangan hidup, dan hati disakiti sampai kosong dan mati rasa.

Saya tahu kamu sudah lebih dari sekali mendengar suara-suara setan yang bergema dalam kepalamu sendiri.

Saya tahu kamu setengah mati berusaha menghilangkan suara-suara yang bisa membimbingmu ke sisi gelap itu.

Tapi tahukah kamu, kamu sendiri yang mengundang suara-suara itu.

Saya tahu kamu lelah, saya tahu kamu muak, saya tahu kamu sering berpura-pura. 

Kelelahanmu, kemuakanmu dan kepalsuanmulah yang membiarkan suara-suara itu masuk, berusaha menguasai hampir setiap sudut otakmu, mendesing dan kemudian bergaung di telingamu.

Saya tahu kamu lelah dengan dirimu sendiri, dengan orang-orang lain yang kamu temui dan orang-orang yang membebanimu.

Lelah dengan mereka yang meremehkan jurusan yang kamu ambil, memandang enteng keputusan-keputusan hidupmu, pekerjaanmu dan kapabilitasmu.

Muak dengan pertanyaan-pertanyaan yang kamu hindari dari orang-orang yang menuntut jawaban, kemudian setelah  mendapatkan jawaban, mereka kemudian menilaimu. Padahal? Tahu apa mereka tentang kehidupanmu dan apa yang kamu lalui?

Saya tahu sisi membusuk dalam hatimu seringkali merasa hidup ini tidak adil, apalagi ketika melihat orang lain dengan nasib yang lebih beruntung darimu.

Mereka yang bisa dengan mudah melanjutkan pendidikan S2,

Mereka yang tidak perlu menangis diam-diam karena belum bisa memberi kepada orangtua apa yang mereka inginkan, yang sudah dimiliki orangtua lain,
Mereka yang tidak perlu menabung untuk membeli buku-buku yang ingin dibaca, yang tidak perlu menatap lekat-lekat buku yang masih dibungkus plastik di toko buku untuk kemudian dengan berat hati meletakkannya kembali di rak karena tahu belum mampu membelinya,

Mereka yang tidak harus mengubur dalam-dalam semua keinginan mereka karena tahu banyak hal yang hanya akan menjadi sekedar mimpi,

Mereka yang tidak perlu membiarkan diri terperangkap dalam tekanan serta keputusasaan yang menghimpit,

Saya tahu kamu menikmati kesendirianmu, meski harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan “Siapa? Seperti apa? Kapan?”, dan memilih yakin bahwa suatu hari akan ada orang yang tepat, yang baik, dan untuk itu tentunya kamu yakin betul kamu harus membenahi dirimu dulu.

Saya tahu kamu lelah dengan tuntutan ini dan itu, saya tahu kamu beberapa kali harus menahan airmatamu jatuh karena terlalu lama menyimpan kebencian terhadap dunia, terhadap orang-orang dan terhadap dirimu sendiri...

Kamu seringkali hanya ingin sendiri, memisahkan diri dari keramaian, menutup mata dari semua kecongkakan orang-orang itu dan segala yang mereka punya,
Kamu ingin menciptakan ruang kosong dimana hanya ada kamu dan pikiranmu untuk kemudian melenyapkan suara-suara yang muncul dari kegelapan, suara-suara yang membuatmu lupa bahwa selalu ada tempat untuk menyandarkan semua kelelahanmu itu.

Selalu ada tempat untuk bersujud, memejamkan mata, memohon ampun, dan.... berdoa.
Jangan pernah lupa kalau kamu tidak pernah sendirian, selalu Ada Yang akan mendengarkanmu, menerima isak tangismu dan menghapuskan beban-beban di pundakmu.
Jika kamu selalu mengingatNya, selalu mendekatkan diri padaNya, suara-suara setan itu akan hilang dengan sendirinya.

Dear, Restu Annisa
Tidak ada yang tidak mungkin, jangan injak mimpimu dan memandangnya seolah itu tidak akan pernah terwujud. 

Saya harap, suatu hari nanti saat kamu membaca kembali surat dari dirimu sendiri ini, kamu dapat tersenyum dan berkata,
“I’ve passed this phase already”
                                                                                                -yours truly.

...



Hi, its been a long time since I write here.

Hari ini saya mau berbagi satu cerita.

Setelah resign dari satu sekolah karena kendala jarak, saya sekarang mengajar di sekolah yang jaraknya tidak sejauh yang lama.

Kontras. Satu kata yang tepat menggambarkan perbedaan antara sekolah yang lama dan sekolah yang baru. Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap dua sekolah, kekontrasan itu memang sangat terasa.

Di sekolah saya yang lama, saya terbiasa bertemu dengan siswa-siswi yang tidak terlalu banyak, saya biasa berjalan kaki dari gerbang depan ke gedung sekolah, dilewati oleh mobil-mobil pribadi yang mengantarkan siswa-siswi, makanan kantinnya harganya bahkan lebih mahal dari makanan kantin kampus saya, menerima surat keterangan izin dari siswa yang ke luar negeri dan macam-macam lainnya. 

Sekolah tempat saya mengajar sekarang, sekolah umum dengan banyak siswa, orangtua mereka bukan orangtua yang harus mengeluarkan banyak uang atau memprotes dan memberikan dana apabila ac ruangan kelas mati. 

Suatu hari, saya diberikan wewenang menjadi bendahara panitia pelaksanaan mid semester. Beberapa hari sebelum waktu mid, siswa harus melunasi semua tunggakan, jika tidak, maka siswa tidak akan mendapatkan kartu mid (tipikal sekolah umum sebagaimana seharusnya), selama hari-hari pelunasan itu, saya banyak bertemu dengan para orangtua murid yang datang ke sekolah untuk melunasi tunggakan, berbagai macam orangtua saya hadapi. Kebanyakan memang datang dari latar belakang yang sederhana. Tidak jarang, ada yang cerita dan mengatakan hal-hal seperti “Demi sekolah anak mah, saya usahakan pokoknya”, “Ini gaji abis bulan ini, bu”, “Namanya juga buat pendidikan ya, ya semoga aja anak saya tau terus rajin sekolahnya”,  “Iya bu, ini anaknya udah nangis aja takut ga dapet kartu”, “Saya neneknya, orangtuanya udah ga ada jadi saya yang harus nanggung”, “Kita mah orang kecil bu, makanya ini banyak tunggakannya” dan lain-lain. 

Berhari-hari saya memperhatikan mata satu demi satu orangtua murid di depan saya itu kemudian ada satu orangtua yang matanya tidak bakal bisa saya lupakan, mata beliau yang akhirnya menjadi alasan saya menulis ini.

Ibu itu datang dengan langkah pelan, dari tangannya yang kasar ketika menyalami saya dan kakinya yang terlihat hanya memakai sendal jepit swallow, saya tau ibu ini bekerja keras, lebih keras dari seharusnya. Ibu itu berperawakan kecil, usianya sekitar 40an, di celana bahan hitamnya ada bercak cat, kerutan-kerutan di wajahnya seolah menggambarkan berat beban yang dipikulnya. Tapi masih ada gurat senyum tulus disana, bahkan ibu itu masih tetap tersenyum ketika ia pergi dari loket spp, pulang kembali ke rumahnya karena ternyata uang yang dibawanya kurang. 

Ketika dia kembali dan menemui saya untuk membayar tunggakan, saya bisa melihat lebih dekat matanya. Sorot mata yang sudah redup tapi sekali lagi, ada ketulusan disana, ketulusan yang sama dengan yang saya lihat dari senyumnya. Ia membayar tunggakan dengan merogoh-rogoh sampai ke dasar dompet kecilnya yang usang dan pudar warnanya, ia mengeluarkan satu demi satu kepingan uang lima ratusan. Banyak, sangat banyak.

Hati saya sakit melihatnya, bahkan ketika saya menulis ini dan mengingat kembali wajah ibu itu, hati saya masih terasa sakit.
Saya masih ingat, ibu itu berkata dengan suara pelan (masih sambil terseyum), “Maaf ya bayarnya pake receh. Bener-bener ga ada lagi”
I dont know, I feel like someone just stab me with a sword. My heart aches..... so much. Can you feel me.

Saya ingin sekali mengembalikan semua uang yang dikeluarkan ibu itu, biar saya saja yang menanggung tunggakan anaknya. Tapi saat itu, di ruang guru, sekeliling saya banyak orang dengan telinga yang terpasang. Saya pasti akan langsung disindir apalagi mereka tahu gaji saya yang tidak seberapa.
Ketika melihat punggung ibu itu yang berjalan menjauh, saya menyadari kesalahan saya. Kenapa juga saya harus memikirkan apa kata orang? Kenapa saya bodoh sekali? 

Saya terus memikirkan itu di sepanjang perjalanan pulang, mengutuki diri saya sendiri, menenggelamkan diri saya dalam penyesalan, baru sadar ketika orang sebelah saya di bus bertanya “Kenapa, Mbak?” melihat mata saya yang memerah, yang saya ingat saya tidak menjawab. 

Saya sakit, di rumah saya muntah-muntah dan badan saya panas. Did I told you about how overthinker I am? Saya menceritakan semuanya pada sahabat saya dan dia berkata, “Udah, Nis.. Belum terlambat untuk menolong orang lain. Sertakan ibu itu dan anaknya dalam sujud Nisa”

Saya berharap saya ketemu anak dari ibu itu besok di sekolah, anak itu rajin, anak itu baik, tidak pernah macam-macam dan cenderung pendiam. Saya harus menemuinya keesokan harinya pokoknya.

Keesokan harinya, ternyata ibu itu datang lagi ke sekolah. Alhamdulillah, Allah tidak membiarkan saya menyesal lama-lama.

Saat itu, saya masih ingat, betapa leganya saya ketika tangan ibu itu meraih tangan saya, berulang kali mengucapkan terima kasih yang sebenarnya tidak perlu, mata ibu itu dilapisi air bening berkaca, mulutnya mengalirkan doa untuk saya. Kamu tidak akan bisa membayangkannya, mata berkaca-kaca ibu itu seolah menggambarkan seberapa berat yang telah dilaluinya.

Ibu itu mengingatkan saya pada orangtua saya sendiri dan juga semua orangtua di dunia ini, yang bekerja keras banting tulang supaya anaknya mendapat pendidikan setinggi-tingginya, supaya anaknya pintar dan sukses. 

Saya berharap pada Allah, saya memang bukan dokter yang bisa menyembuhkan orang, tapi semoga saya selalu bisa membantu orang lain.

Saya tidak bermaksud untuk pamer kepada dunia bahwa saya baru saja membantu orang, tidak, bukankah saya melakukan kesalahan? Saya hanya ingin membagi sedikit cerita ini dan berpesan pada semua yang membaca ini untuk selalu mengingat bagaimana perjuangan orangtua untuk anaknya, mengusahakan supaya anaknya bisa lebih daripada dirinya, mengorbankan semua keringat dan airmatanya.

Kita memang tidak akan pernah bisa membalas mereka, tapi kita selalu bisa membuatnya bahagia, meringankan beban mereka dengan tidak meminta hal-hal yang tidak bisa mereka penuhi, kemudian belajar yang rajin, menjadi orang yang sukses dan berpendidikan seperti yang mereka harapkan.