Aku membeku dalam kebisuan yang tak terelakkan, tawa riang dari dalam kamarku tak bisa memulihkan apa yang baru saja aku ketahui. Entahlah, meskipun tadinya aku merasa sudah siap akan kemungkinan ini, perubahan ini tapi tetap saja ketika kenyataan itu datang aku merasa bagaikan ada sesuatu yang lebih tajam dari pisau menggoreskan satu luka baru di atas yang lainnya. Pedih yang tak perlu ditanyakan bagaimana rasanya, kabut tipis yang kugunakan sebagai perisai selama ini terkuak dengan mudah hanya karena sesuatu yang sebelumnya sudah aku perkirakan. Kabut perisai itu telah hancur, aku melemah dan sinkronisasiku tak ada, kugerakkan tubuhku dengan cepat dan gelisah tanpa menyadari kalau aku sedang berjalan kebingungan, tak ada yang menyadarinya, bahkan tidak juga suara-suara lain di rumahku.
Kalut, kuhapus airmataku tanpa menyadari kapan terjatuhnya, aku merasa yakin, siapapun yang melihatku saat ini pasti mengira aku sedan mengalami depresi berat atau mungkin anggapan mereka memang benar?
Seekor kucing kecil dengan bulu abu-abu mengeong pelan, tak jauh dari tempatku membeku. Kulihat matanya tak lepas dariku, apakah ini hanya karena aku sedang kacau atau memang kucing itu juga menatapku dengan kesedihan yang tak mampu kujelaskan? Atau memang semua kucing memiliki mata sedih seperti itu?
Saat itulah airmataku kembali jatuh, aku menyerah, tak mencoba untuk menghentikannya. Fakta itu semakin mengoyak sesuatu yang rapuh, yang memang sedang berusaha untuk melupakannya, mengingatkanku bahwa aku sudah tidak dipedulikan. Kemudian aku merasakannya, seperti yang biasa datang di malam-malamku setelah ia pergi. Merinding, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, aku bisa merasakannya, aku tahu bahwa ia tahu setiap tetes airmata dan kesedihanku.
Aku tak melihatnya tapi aku merasakannya, koneksi aneh itupun terjadi. Aku benar-benar merasa ia sedang memperhatikanku, lama tanpa suara, tanpa bayang meski yang paling samar sekalipun. Kututup wajahku frustasi, tak mengerti. Mengapa delusi tentang dia yang sudah melupakanku ini terus menerus datang, bukan hanya ketika aku pilu dan merasa mati tapi juga di lamunanku dan lelapku.
Tak ada yang mengerti tentang ini sekalipun aku harus menjelaskannya secara detail, tidak ada, tidak ada yang mengerti tentang ‘ini’. Aku dan delusi ini sendiri yang memahaminya dan tentu saja Tuhan yang menaungiku dalam setiap cerita dan doa dalam ruangku dan diriNya.
Sudahlah, selalu itu yang aku tekankan. “Bukankah dia juga sudah melupakannya? Kenapa tak kau coba lupakan saja? Anggap saja bahwa sesuatu yang tak ia jelaskan setelah keyakinanmu padanya itu adalah hal yang lumrah.”
Aku tersiksa karena delusi ini, tapi aku juga tak begitu ingin terbebas darinya karena entah dengan cara apa, dia menekan sekaligus memberikan gelombang ketenteraman yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, aku merasa bisa melihat matanya dengan mataku yang kabur karena airmata meski aku tak punya bakat supranatural. Aku yakin aku merasakannya.
Aku tidak sedang melebih-lebihkan cerita dan aku juga percaya apa yang dikatakan perasaanku. Aku tidak sedang melebih-lebihkan, aku bicara realita.
(Delusi – RAS)
Good night, nocturnal. Good night f..rozen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar