Hi, its been a long time since I write
here.
Hari ini saya mau berbagi satu cerita.
Setelah resign dari satu sekolah karena
kendala jarak, saya sekarang mengajar di sekolah yang jaraknya tidak
sejauh yang lama.
Kontras. Satu kata yang tepat
menggambarkan perbedaan antara sekolah yang lama dan sekolah yang baru. Tanpa
mengurangi rasa hormat saya terhadap dua sekolah, kekontrasan itu memang sangat
terasa.
Di sekolah saya yang lama, saya
terbiasa bertemu dengan siswa-siswi yang tidak terlalu banyak, saya biasa
berjalan kaki dari gerbang depan ke gedung sekolah, dilewati oleh mobil-mobil
pribadi yang mengantarkan siswa-siswi, makanan kantinnya harganya bahkan lebih
mahal dari makanan kantin kampus saya, menerima surat keterangan izin dari
siswa yang ke luar negeri dan macam-macam lainnya.
Sekolah tempat saya mengajar sekarang,
sekolah umum dengan banyak siswa, orangtua mereka bukan orangtua yang harus
mengeluarkan banyak uang atau memprotes dan memberikan dana apabila ac ruangan
kelas mati.
Suatu hari, saya diberikan wewenang
menjadi bendahara panitia pelaksanaan mid semester. Beberapa hari sebelum waktu
mid, siswa harus melunasi semua tunggakan, jika tidak, maka siswa tidak akan
mendapatkan kartu mid (tipikal sekolah umum sebagaimana seharusnya), selama
hari-hari pelunasan itu, saya banyak bertemu dengan para orangtua murid yang
datang ke sekolah untuk melunasi tunggakan, berbagai macam orangtua saya
hadapi. Kebanyakan memang datang dari latar belakang yang sederhana. Tidak
jarang, ada yang cerita dan mengatakan hal-hal seperti “Demi sekolah anak mah,
saya usahakan pokoknya”, “Ini gaji abis bulan ini, bu”, “Namanya juga buat
pendidikan ya, ya semoga aja anak saya tau terus rajin sekolahnya”, “Iya bu, ini anaknya udah nangis aja takut ga
dapet kartu”, “Saya neneknya, orangtuanya udah ga ada jadi saya yang harus
nanggung”, “Kita mah orang kecil bu, makanya ini banyak tunggakannya” dan
lain-lain.
Berhari-hari saya memperhatikan mata
satu demi satu orangtua murid di depan saya itu kemudian ada satu orangtua yang
matanya tidak bakal bisa saya lupakan, mata beliau yang akhirnya menjadi alasan
saya menulis ini.
Ibu itu datang dengan langkah pelan,
dari tangannya yang kasar ketika menyalami saya dan kakinya yang terlihat hanya
memakai sendal jepit swallow, saya tau ibu ini bekerja keras, lebih keras dari
seharusnya. Ibu itu berperawakan kecil, usianya sekitar 40an, di celana bahan
hitamnya ada bercak cat, kerutan-kerutan di wajahnya seolah menggambarkan berat
beban yang dipikulnya. Tapi masih ada gurat senyum tulus disana, bahkan ibu itu
masih tetap tersenyum ketika ia pergi dari loket spp, pulang kembali ke
rumahnya karena ternyata uang yang dibawanya kurang.
Ketika dia kembali dan menemui saya
untuk membayar tunggakan, saya bisa melihat lebih dekat matanya. Sorot mata
yang sudah redup tapi sekali lagi, ada ketulusan disana, ketulusan yang sama
dengan yang saya lihat dari senyumnya. Ia membayar tunggakan dengan
merogoh-rogoh sampai ke dasar dompet kecilnya yang usang dan pudar warnanya, ia
mengeluarkan satu demi satu kepingan uang lima ratusan. Banyak, sangat banyak.
Hati saya sakit melihatnya, bahkan
ketika saya menulis ini dan mengingat kembali wajah ibu itu, hati saya masih
terasa sakit.
Saya masih ingat, ibu itu berkata dengan
suara pelan (masih sambil terseyum), “Maaf ya bayarnya pake receh.
Bener-bener ga ada lagi”
I dont know, I feel like someone just
stab me with a sword. My heart aches..... so much. Can you feel me.
Saya ingin sekali mengembalikan semua
uang yang dikeluarkan ibu itu, biar saya saja yang menanggung tunggakan
anaknya. Tapi saat itu, di ruang guru, sekeliling saya banyak orang dengan
telinga yang terpasang. Saya pasti akan langsung disindir apalagi mereka tahu
gaji saya yang tidak seberapa.
Ketika melihat punggung ibu itu yang
berjalan menjauh, saya menyadari kesalahan saya. Kenapa juga saya harus
memikirkan apa kata orang? Kenapa saya bodoh sekali?
Saya terus memikirkan itu di sepanjang
perjalanan pulang, mengutuki diri saya sendiri, menenggelamkan diri saya dalam
penyesalan, baru sadar ketika orang sebelah saya di bus bertanya “Kenapa,
Mbak?” melihat mata saya yang memerah, yang saya ingat saya tidak menjawab.
Saya sakit, di rumah saya muntah-muntah
dan badan saya panas. Did I told you about how overthinker I am? Saya
menceritakan semuanya pada sahabat saya dan dia berkata, “Udah, Nis.. Belum
terlambat untuk menolong orang lain. Sertakan ibu itu dan anaknya dalam sujud
Nisa”
Saya berharap saya ketemu anak dari ibu
itu besok di sekolah, anak itu rajin, anak itu baik, tidak pernah macam-macam
dan cenderung pendiam. Saya harus menemuinya keesokan harinya pokoknya.
Keesokan harinya, ternyata ibu itu
datang lagi ke sekolah. Alhamdulillah, Allah tidak membiarkan saya menyesal
lama-lama.
Saat itu, saya masih ingat, betapa
leganya saya ketika tangan ibu itu meraih tangan saya, berulang kali
mengucapkan terima kasih yang sebenarnya tidak perlu, mata ibu itu dilapisi air
bening berkaca, mulutnya mengalirkan doa untuk saya. Kamu tidak akan bisa
membayangkannya, mata berkaca-kaca ibu itu seolah menggambarkan seberapa berat
yang telah dilaluinya.
Ibu itu mengingatkan saya pada orangtua
saya sendiri dan juga semua orangtua di dunia ini, yang bekerja keras banting
tulang supaya anaknya mendapat pendidikan setinggi-tingginya, supaya anaknya
pintar dan sukses.
Saya berharap pada Allah,
saya memang bukan dokter yang bisa menyembuhkan orang, tapi semoga saya selalu
bisa membantu orang lain.
Saya tidak bermaksud untuk pamer kepada
dunia bahwa saya baru saja membantu orang, tidak, bukankah saya melakukan
kesalahan? Saya hanya ingin membagi sedikit cerita ini dan berpesan pada semua
yang membaca ini untuk selalu mengingat bagaimana perjuangan orangtua untuk
anaknya, mengusahakan supaya anaknya bisa lebih daripada dirinya, mengorbankan
semua keringat dan airmatanya.
Kita memang tidak akan pernah bisa
membalas mereka, tapi kita selalu bisa membuatnya bahagia, meringankan beban
mereka dengan tidak meminta hal-hal yang tidak bisa mereka penuhi, kemudian
belajar yang rajin, menjadi orang yang sukses dan berpendidikan seperti yang
mereka harapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar